Jumat, 13 April 2012


PERSENGKETAAN DAERAH PERBATASAN DI WILAYAH AMBALAT KAITANNYA DENGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA

TULISAN
FAUZAN RAHADI
2DB07
SOFTSKILL


PERSENGKETAAN DAERAH PERBATASAN DI WILAYAH AMBALAT
KAITANNYA DENGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI
WAWASAN NUSANTARA

I.      PENDAHULUAN
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya  kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasiIndonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4ยบ 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama.
            Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan)
 Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesiasebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.

II.    PEMBAHASAN
Menilik semua permasalahan diatas semua berawal dari konsep dan implementasi dari wawasan nusantara. Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas, kedudukan dan fungsi serta tujuan wawasan nusantara.
A. Pengertian dan sejarah singkat timbulnya wawasan nusantara              
 1. Pengertian Wawasan Nusantara
                  Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di antara dua hal.
Secara unum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsaIndonesia  tentang diri dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
(Tim Dosen UGM)
B.Kaitan Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
            Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
   Adapun latar belakang yang memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
( Ken/ Wan, Dispenal  mediacenter@tnial.mil.id)
Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
( Yophiandi Kurniawan, www. tempo interaktif.com)
 Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysiamemperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysiapada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia.AlasannyaMalaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
(Ken/ Wan,Dispenal  mediacenter@tnial.mil.id)
Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan perang terbuka.
( Tridoyo Kusumanstanto,   http://www.kompas.com)
            Tindakan pemerintah Malaysia yang mengklaim blok perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial negaranya telah memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai komponen masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap mengikrarkan diri sebagai korps sukarelawan apabila konflik klaim wilayah perairan Ambalat termanifestasi menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa)Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia". Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan
oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang
ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
( Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id)
 Sikap masyarakat Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah berniat baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara tetangga. Sikap arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia, China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei Darussalam.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Malaysiamelakukan protes keras. Ironisnya, hingga saat ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara penuh. Padahal, klaim suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan internasional sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu wilayah negara pantai berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) dengan negara lain, maka negara tersebut harus melakukan perundingan untuk mencapai persetujuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan Mahkamah Internasional 18 Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan Anglo norwegian fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu disebutkan, bahwa delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada kehendak sepihak satu negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang nasionalnya, melainkan keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus didasarkan pada hukum internasional.
Sementara itu yang patut diingat dalam menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di samping show of force militer, Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu secara diplomatik agar tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh lautan kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahanMalaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkahMalaysia merupakan negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
( Tridoyo Kusumanstanto,   http://www.kompas.com)      
C. Hikmah dan Solusi  Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi Wawasan   Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagiIndonesia, karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyatIndonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939)Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan(land based oriented) yang mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national security belt,yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint developmentdengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesiadiperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
( Tridoyo Kusumanstanto,   http://www.kompas.com)
              Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
            Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan NegaraIndonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1.       Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsaIndonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2.      Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
3.      Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan.  

III. KESIMPULAN
          Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu bentuk ancaman bagi keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kita sudah jauh dari Konsep Wawasan Nusantara dan Juga kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia . Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap warga Negara Indonesia agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal ini akan mewujudkan keberhasilan dan implementasi wawasan nusantara. Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi dalam kehidupan nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.











DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty, R., 1988. masalah  sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1982. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Basril, Chaidir ., 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.

Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut. Bina Cipta, Bandung.

Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional, Surabaya.
  
Ken/ Wan. 07 Maret 2005. Hari ini Presiden Yudhoyono Ke Ambalat.
Dispenal  mediacenter@tnial.mil.id

   Kurniawan, Yophiandi. 27 Februari 2005. Protes Indonesia atas Ambalat .Tempo Interaktif.

Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan Republik Indonesia.http://www.kompas.com

Pernyataan Pers DR.N. Hassan Wirajuda, Menteri luar Negeri RITentang kasus  Sipadan dan Ligitan. 17 Desember 2002. Embassy of the Republic of Indonesia- Wellington
Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan Reaktualisasi Nasionalisme.http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.htm
Sumarsono, dkk., 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Sun, Jakarta.

Tim Dosen UGM Yogyakarta. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Paradigama, Yogyakarta.

Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauanhttp://www.pikiran-rakyat.com

TULISAN WAWASAN NUSANTARA 2

TULISAN
FAUZAN RAHADI
2DB07
SOFTSKILL

WAWASAN NUSANTARA 2

A. Wawasan Nasional Suatu Bangsa
Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa yaitu wawas (mawas) yang artinya melihat atau memandang, jadi kata wawasan dapat diartikan cara pandang atau cara melihat.
Kehidupan negara senantiasa dipengaruhi perkembangan lingkungan strategik sehinga wawasan harus mampu memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang ditimbulkan dalam mengejar kejayaanya.
Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan ada tiga faktor penentu utama yang harus diperhatikan oleh suatu bangsa :
1. Bumi/ruang dimana bangsa itu hidup
2. Jiwa, tekad dan semangat manusia / rakyat
3. Lingkungan
Dengan demikian, wawasan nasional suatu bangsa adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (interaksi & interelasi) serta pembangunannya di dalam bernegara di tengah-tengah lingkungannya baik nasional, regional, maupun global.
B. Teori – Teori Kekuasaan
Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya.
Beberapa teori paham kekuasaan dan teori geopolitik antara lain sebagai berikut:
1. Paham-paham kekuasaan
a. Machiavelli (abad XVII)
b. Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
c. Jendral Clausewitz (abad XVIII)
d. Fuerback dan Hegel (abad XVII)
e. Lenin (abad XIX)
f. Lucian W. Pye dan Sidney
2. Teori–teori geopolitik (ilmu bumi politik)
Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala politik dari aspek geografi. Teori ini banyak dikemukakan oleh para sarjana seperti :
a. Federich Ratzel
1. Pertumbuhan negara dapat dianalogikan (disamakan/mirip) dengan pertumbuhan organisme (mahluk hidup) yang memerlukan ruang hidup, melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup tetapi dapat juga menyusut dan mati.
2. Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati oleh kelompok politik dalam arti kekuatan. Makin luas potensi ruang makin memungkinkan kelompok politik itu tumbuh (teori ruang).
3. Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam.
4. Semakin tinggi budaya bangsa semakin besar kebutuhan atau dukungan sumber daya alam.
Apabila ruang hidup negara (wilayah) sudah tidak mencukupi, maka dapat diperluas dengan mengubah batas negara baik secara damai maupun dengan kekerasan/perang. Ajaran Ratzel menimbulkan dua aliran :
* menitik beratkan kekuatan darat
* menitik beratkan kekuatan laut
b. Rudolf Kjellen
1. Negara sebagai satuan biologi, suatu organisme hidup. Untuk mencapai tujuan negara, hanya dimungkinkan dengan jalan memperoleh ruang (wilayah) yang cukup luas agar memungkinkan pengembangan secara bebas kemampuan dan kekuatan rakyatnya.
2. Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-bidang: geopolitik,ekonomipolitik, demopolitik, sosialpolitik dan kratopolitik.
3. Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar, tetapi harus mampu swasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan nasional.
c. Karl Haushofer
Pandangan Karl Haushofer ini berkembang di Jerman di bawah kekuasan Aldof Hitler, juga dikembangkan ke Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme.
d. Sir Halford Mackinder (konsep wawasan benua)
Teori ahli Geopolitik ini menganut “konsep kekuatan”. Ia mencetuskan wawasan benua yaitu konsep kekuatan di darat. Ajarannya menyatakan ; barang siapa dapat mengusai “daerah jantung”, yaitu Eropa dan Asia, akan dapat menguasai “pulau dunia” yaitu Eropa, Asia, Afrika dan akhirnya dapat mengusai dunia.
e. Sir Walter Raleigh dan Alferd Thyer Mahan (konsep wawasan bahari)
Barang siapa menguasai lautan akan menguasai “perdagangan”. Menguasai perdagangan berarti menguasai “kekayaan dunia” sehinga pada akhirnya menguasai dunia.
f. W.Mitchel, A.Seversky, Giulio Douhet, J.F.C.Fuller (konsep wawasan dirgantara)
Kekuatan di udara justru yang paling menentukan. Kekuatan di udara mempunyai daya tangkis terhadap ancaman dan dapat melumpuhkan kekuatan lawan dengan penghancuran dikandang lawan itu sendiri agar tidak mampu lagi bergerak menyerang.
g. Nicholas J. Spykman
Teori daerah batas (rimland) yaitu teori wawasan kombinasi, yang menggabungkan kekuatan darat, laut, udara dan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keperluan dan kondisi suatu negara.
C. Wawasan Nasional Indonesia
Wawasan nasional Indonesia dikembangkan berdasarkan wawasan nasional secara universal sehingga dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dipakai negara Indonesia.
a. Paham kekuasaan Indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan : “Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme.
b. Geopolitik Indonesia
Indonesia menganut paham negara kepulauan berdasar ARCHIPELAGO CONCEPT yaitu laut sebagai penghubung daratan sehingga wilayah negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai Tanah Air dan ini disebut negara kepulauan.
c. Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia
Bangsa Indonesia dalam menentukan wawasan nasional mengembangkan dari kondisi nyata. Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasan dari bangsa Indonesia yang terdiri dari latar belakang sosial budaya dan kesejarahan Indonesia.
Untuk itu pembahasan latar belakang filosofi sebagai dasar pemikiran dan pembinaan nasional Indonesia ditinjau dari :
1. Pemikiran berdasarkan falsafah Pancasila
2. Pemikiran berdasarkan aspek kewilayahan
Gambar laut teritorial selebar 3 mil dari masing-masing pulau (TZMKO 1939)
Gambar pembagian wilayah laut menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional1982
D. Pengertian Wawasan Nusantara
1. Prof.Dr. Wan Usman
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.
2. Kelompok kerja LEMHANAS 1999
Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Sedangkan pengertian yang digunakan sebagai acuan pokok ajaran dasar Wawasan Nusantara sebagai geopolitik Indonesia adalah:
cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Landasan Wawasan Nusantara
Idiil => Pancasila
Konstitusional => UUD 1945
E. Unsur Dasar Wawasan Nusantara
Wadah (Contour)
Isi (Content)
Tata laku (Conduct)
F. Hakekat Wawasan Nusantara
Adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam pengertian : cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.
Berarti setiap warga bangsa dan aparatur negara harus berfikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh dalam
lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga negara.
G. Asas Wawasan Nusantara
Merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara dan diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya komponen/unsur pembentuk bangsa Indonesia(suku/golongan) terhadap kesepakatan (commitment) bersama. Asas wasantara terdiri dari:
Kepentingan/Tujuan yang sama
Keadilan
Kejujuran
Solidaritas
Kerjasama
Kesetiaan terhadap kesepakatan
H. Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam rangka mencapai dan mewujudkan tujuan nasional.
Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma nasional sbb:
Pancasila (dasar negara) =>Landasan Idiil
UUD 1945 (Konstitusi negara) =>Landasan Konstitusional
Wasantara (Visi bangsa) =>Landasan Visional
Ketahanan Nasional (KonsepsiBangsa) =>Landasan Konsepsional
GBHN (Kebijaksanaan Dasar Bangsa) =>Landasan Operasional
Fungsi Wawasan Nusantara adalah pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan, baik bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Tujuan Wawasan Nusantara adalah mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala bidang dari rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan orang perorangan, kelompok, golongan, suku bangsa/daerah.
I. Implementasi Wawasan Nusantara
Penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan negara.
a. Implementasi dalam kehidupan politik,
b. Implementasi dalam kehidupan Ekonomi,
c. Implementasi dalam kehidupan Sosial Budaya,
d. Implementasi dalam kehidupan Pertahanan Keamanan,
Prospek Implementasi Wawasan Nusantara
Berdasarkan beberapa teori mengemukakan pandangan global sbb:
Global Paradox menyatakan negara harus mampu memberikan peranan sebesar-besarnya kepada rakyatnya.
Borderless World dan The End of Nation State menyatakan batas wilayah geografi relatif tetap, tetapi kekuatan ekonomi dan budaya global akan menembus batas tsb. Pemerintah daerah perlu diberi peranan lebih berarti.
The Future of Capitalism menyatakan strategi baru kapitalisme adalah mengupayakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat serta antara negara maju dengan negara berkembang.
Building Win Win World (Henderson) menyatakan perlu ada perubahan nuansa perang ekonomi, menjadikan masyarakat dunia yang lebih bekerjasama, memanfaatkan teknologi yang bersih lingkungan serta pemerintahan yang demokratis.
The Second Curve (Ian Morison) menyatakan dalam era baru timbul adanya peranan yang lebih besar dari pasar, peranan konsumen dan teknologi baru yang mengantar terwujudnya masyarakat baru.
Keberhasilan Implementasi Wasantara
Diperlukan kesadaran WNI untuk :
Mengerti, memahami, menghayati tentang hak dan kewajiban warganegara serta hubungan warganegara dengan negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia.
Mengerti, memahami, menghayati tentang bangsa yang telah menegara, bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan memerlukan konsepsi wawasan nusantara sehingga sadar sebagai warga negara yang memiliki cara pandang. Agar ke-2 hal dapat terwujud diperlukan sosialisasi dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah.
Source : Pendidikan Kewarganegaraa, Gramedia Pustaka 2008
http://rrriiiian.wordpress.com